Tuhan telah mengajarkan kepada Adam, maka secara simbolik manusia
mewarnai buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa. Kemudian manusia hidup berbekal
pengetahuan, Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik
dan mana yang buruk. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpaling kepada
pengetahuan. Manusia sebagai makhluk yang bernalar, tentu menjadi satu-satunya
makhluk yang mengembangkan pengetahuan dengan sungguh-sungguh. Binatang juga
mempunyai pengetahuan namun sebatas kelangsungan hidupnya.
Dalam kenyataannya ada pengetahuan tertentu yang bisa dibangun oleh
manusia tanpa harus atau tidak bisa mempersepsinya dengan indera terlebih
dahulu. Manusia bisa membangun pengetahuan, misalnya, dari anggapan dua entitas
yang masing-masing sama besarnya dengan entitas ketiga adalah entitas sama
besar. Pengetahuan semacam itu jelas dengan sendirinya (tanpa persepsi indra)
karena ada akal yang memungkinkannya. Demikian argumentasi yang dibangun para
filsuf ilmu sekuler untuk melandasi pemikiran mereka mengenai akal sebagai
sumber pengetahuan. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka filsafat ilmu
sekuler menempatkan akal adalah salah satu sumber pengetahuan yang mungkin
untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Pandangan ini merupakan representasi dari
pandangan filsafat Rasionalisme dimana dalam pandangan moderatnya berpendirian
bahwa manusia memiliki potensi mengetahui dengan pasti dengan sendirinya,
tentang beberapa hal yang relevan. Misalnya, kenyataan-kenyataan : keseluruhan
adalah lebih besar dari bagian-bagiannya; satu adalah separuh dari dua;
keliling lingkaran lebih besar dari garis tengahnya; adalah pengetahuan yang
dapat diketahui dengan pasti dan dengan sendirinya karena potensi akal.
TOKOH FILSUF BERBICARA TENTANG “NALAR”
FILSAFAT KLASIK
1.
Democritus (460-360
SM)
Ø Persepsi menghasilkan opini : nalar memberi pengetahuan
tentang realitas
Ø Nalar harus menggambarkan pengetahuan tentang realitas
melalui kualitas persepsi kedua (warna, rasa, dsb)
Ø Nalar itu sendiri adalah produk dari materi yang bergerak
2.
Socrates (470-399 SM)
Ø Prinsip universal yang terbuka bagi nalar adalah konsep
moral yang disepakati oleh semua ide
3.
Plato (427-347 SM)
Ø Nalar dan pandangan menemukan universal dalam fenomena
perceptual, yakni idea tau bentuk realitas yang dapat dimengerti (rasionalisme
dan intuisisme)
ABAD PERTENGAHAN
1.
Thomas Aquinas
(1224-1274)
Ø Nalar yang tanpa tujuan semata tidaklah cukup untuk
mengetahui dunia dan Tuhan
MODERN
1.
John Locke
(1632-1704)
Pikiran tidak hanya bersikap pasif menerima
dari luar. Beberapa aktivitas berlangsung di dalam pikiran pula.
Gagasan-gagasan dari indra diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai,
meragukan dengan demikian menimbulkan apa yang dinamakan perenungan.
2.
Immanuel
Kant (1724-1804)
Teori realitas – idealisme kritis atau transendental. Realitas sebagai “sesuatu yang
dalam dirinya” (thing-in-self) (ding an sich) atau sebagai nomena tidak mungkin
dapat diketahui. Nomena menghadirkan dirinya pada pikiran sebagai fenomena yang
dapat diketahui (lihat fenomenalisme). Fenomena merupakan produk bersma dari
pikiran dan data indrawi. Fenomena menjadi mungkin hanya karena pikiran maupun
mengendalikannya dalam ruang dan waktu. Pikiran tidak mampu mengetahui apa yang
disebut dengan “sesuatu yang dalam dirinya”. Pikiran hanya mampu mengenal
fenomena karena memiliki kemampuan untuk itu sehingga fenomena memungkinkan
diketahui. Pikiran menyediakan agen mengorganisir dan mempersatukan yang
menjadikan fenomena tidak hanya mungkin dikenali dan dipikirkan tetapi juga
menyeragamkan, universal, dan dapat disampaikan. Realitas sebagai nomena
termasuk diri dapat juga bebas, sebagaimana diharapakan tuntutan nalar prkatis
dan kepentingan moral.
Ada
Dua Kebenaran : Kebenaran Nalar dan Kebenaran Fakta
Magge (1998)
menceritakan mengenai Pembedaan Dasar, bahwa Leibniz berpendapat bahwa semua
pernyataan yang benar harus mengikuti salah satu dari dua tipe logika ini :
entah kita perlu menelaah fakta-fakta, dalam arti bahwa pernyataan itu pasti
benar atau salah berdasarkan penggunaan unsure-unsur kalimat itu sendiri.
Karena kita dapat menentukan kebenaran pernyataan tipe kedua dengan
menganalisis pernyataannya tanpa harus melihat hal-hal di luar pernyataan itu,
kelak dalam sejarah pernyataan semacam itu dikenal sebagai “pernyataan
analitis”. Sementara itu pernyataan tipe lainnya disebut “pernyataan sintesis”.
Pembedaan itu
dikembangkan lebih lanjut selama tiga ratus tahun kemudian dan menempati posisi
amat penting dalam tradisi filsafat empiris pada periode di antara Leibniz dan
Kant. Pada abad 20, perbedaan ini merupakan hal yang fundamental dalam
Positivisme Logis. Bahkan ada yang berkata, apabila kita belajar filsafat,
cukuplah jika kita menguasai pembedaan itu sebaik-baiknya. Logika dan
matematika akhirnya dipandang sebagai pernyataan analitis, sementara
klaim-klaim pengetahuan tentang dunia empiris dianggap sebagai pernyataan
sintesis. Ada pula konsekuensi-konsekuensi lain dari pembedaan ini.
Pengingkaran terhadap sebuah pernyataan secara analitis benar merupakan sebuah
kontradiksi terhadap dirinya sendiri, maka tidak
mungkin benar. Sementara itu, pengingkaran terhadap sebuah pernyataan yang
secara sintetis benar bukanlah sebuah kontradiksi terhadap dirinya sendiri,
melainkan merupakan sebuah pernyataan sintetis lainnya yang bisa benar namun
kebetulan tidak benar. Jadi yang pertama merupakan suatu kemustahilan sedangkan
yang kedua sebuah kemungkinan.
Lanjutnya, Leibniz
memperkenalkan ke dalam filsafat modern pengertian tentang dunia alternative
yang mungkin ada. Sebenarnya mungkin saja terjadi bahwa semua manusia berjari
enam atau berjari tiga. Namun, tidak mungkin ada suatu dunia dimana kita bisa
mempunyai kedua-duanya sekaligus. Maka keduanya adalah kemungkinan. Aktualisasi
salah satu kemungkinan yang lain. Terciptalah istilah “komposibilitas” yakni kemungkinan-kemungkinan (possibilities) yang kompatibel satu sama lain, sebagai lawan dari
kemungkinan-kemungkinan yang tidak kompatibel satu sama lain. Jumlah total dari
sejumlah komposibilitas membentuk suatu dunia yang mungkin ada dan sejumlah
kemungkinan ini amat banyak tak terhingga. Libniz percaya bahwa Tuhan bisa saja
memilih menciptakan suatu jenis dunia yang mungkin dan sebagai pribadi yang
sempurna Tuhan telah memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik yang paling
mungkin.
Nalar adalah budak nafsu
Magee
(1998) menceritakan bahwa David Hume (1711-1776) menganjurkan sikap
“skeptisisme yang longgar”. Sehingga ia menyatakan bahwa kita harus dengan
besar hati mengakui bahwa bukti yang konklusif tidak memainkan peran apapun
dalam kehidupan manusia selain dalam bidang matematika. Kita tidak pernah
benar-benar mengetahui apapun, kita memang bisa menduga, berharap,
memperkirakan tetapi itu sama sekali bukan pengetahuan. Hume menegaskan kembali
pembedaan yang dikemukakan oleh Leibniz, yakni antara pernyataan analitis dan
sintetis. Menurut Hume, pernyataan-pernyataan sintetis tidak pernah dapat
diketahui dengan pasti sebagai hal yang benar. Maka, kita tidak boleh
menyediakan ruang dalam kepala kita bagi pelbagai Teori tentang Segala Sesuatu
baik dalam filsafat, politik, sains, agama, atau bidang lain dimanapun. Bila
kita tidak dapat yakin tentang apapun, betapa anehnya ada yang mengklaim
mempunyai jawaban tentang segalanya. Sistem-sistem keyakinan yang besar dan
terorganisir sama sekali tidak menarik bagi Hume. Ia percaya bahwa kita harus
memegang pendapat dan harapan kita dengan sedikit menahan diri karena kita tahu
bahwa pendapat dan harapan kita bis jadi salah. Kita juga harus menghormati
pendapat dan harapan orang lain. Karakter filsafat Hume memang ugahari, moderat
dan toleran seperti halnya karakter Hume sendiri.
Pandangan-pandangan
Hume telah memberikan pengaruh yang luas dan terus berlanjut hingga zaman kita
sekarang. Betapa persoalan filosofis yang diangkatnya sampai hari ini belum
terpecahkan, terutama soal induksi.
Cahaya Nalar
Magee
(1998) menceritakan bahwa menurut Voltaire (1694-1778), Setelah masuk penjara
kedua kalinya di Bastile, Voltaire terpaksa mengungsi ke Inggris selama lebih
dari dua tahun. Pengalaman ini menjadi titik balik intelektual dalam hidupnya.
Suasana kebebasan yang ditemukannya di Inggris pada saat itu, serta
penghormatan terhadap individu dan hokum, seakan-akan memberinya sebuah tongkat
untuk mencambuki masyarakat Prancis sepanjang sisa hidupnya. Ia fasih berbahasa
Inggris dan mulai menekuni sains baru yang dirintis Newton serta filsafat
liberal yang dirintis Locke. Voltaire tidak pernah memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap pokok ide-ide itu. Sebaliknya, ide-ide itu seolah-olah
telah menguasai Voltaire dan memberinya amunisi untuk dituangkan dalam seluruh
karyanya rentang karier kepenulisannya yang luar biasa panjang. Ia
menyebarluaskan ide-ide itu melalui pelbagai sarana yang bisa diraihnya seperti drama, novel, biografi, karya
sejarah, pamphlet, surat resmi, resensi dengan kecerdasan dan kecemerlangan
yang sedemikian hebat sehingga karya-karyanya dikenal oleh kalangan pembaca di
Eropa Barat. Jarang ada sosok yang sedemikian mahir mempopulerkan bepbagai hal
seperti Voltaire, sehingga mampu memberikan pengaruh begitu dalam terhadap
masyarakat sekitar.
Salah
satu peristiwa yang paling menggegerkan adalah ketika Voltaire melontarkan
kembali gagasan Leibniz bahwa keyakinan atas apapun harus selalu dialihkan
dengan buku-buku pendukung. Pada saat ini ada begitu banyak kepercayaan yang
sudah menjadi buku dalam bidang keagamaan dan sosial yang ternyata harus
dilandasi otoritas Gereja dan Negara semata-mata. Akhirnya
pernyataan-pernyataan itu mulai gerah ketika dihadapkan pada penyelidikan
nalar. Semangat luas untuk melihat segalanya dalam cahaya nalar atau rasio
inilah yang kemudian dikenal sebagai “pencerahan”. Enlighteument, sehingga
periode ini yang kemudian menguasai Eropa, kemudian dikenal sebagai Abad
Pencerahan.
PERKEMBANGAN “NALAR” DIRANAH KONTEMPORER
Nalar (Reason)
Menurut
Surajiyo (2005), Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan
dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru,
hal-hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini tentang asas-asas pemikiran
yaitu :
a. Principium
Identitas
Yaitu sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A =
A). Asas ini sering disebut dengan asas kesamaan.
b. Principium
Contradictionis
Yaitu apabila dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin
dua-duanya benar dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain pada subyek yang
sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu.
Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
c. Principium
Tertii Exclusi
Yaitu
apabila dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak
mungkin keduanya salah. Kebenaran hanya terdapat satu diantara kedua itu, tidak
perlu ada pendapat ketiga. Asas ini biasa disebut asas tidak adanya kemungkinan
ketiga.
Nalar
dan Anti Nalar
Menurut Marxist
(1818-1883) Masa di mana kelas kapitalis memihak pada cara pandang yang
rasional atas dunia tinggallah kenangan. Dalam epos pembusukan kapitalisme,
proses yang semula dijalani kini dijalankan ke arah kebalikannya. Mengutip
Hegel, ini adalah "Nalar menjadi Anti-Nalar". Benar bahwa, di
negeri-negeri industri maju, agama "resmi" telah membeku.
Gereja-gereja tidak lagi didatangi orang yang bersembahyang, dan semakin jatuh
ke dalam krisis. Sebagai gantinya, kita melihat satu "wabah Mesir",
bertumbuhnya sekte-sekte keagamaan yang aneh-aneh, yang diiringi dengan
berkembangnya berbagai jenis ajaran mistis dan segala macam tahyul. Wabah
fundamentalisme agama yang mengerikan Kristen, Yahudi, Islam, Hindu adalah satu
perwujudan dari kemandegan yang dialami masyarakat. Sejalan dengan semakin
mendekatnya abad baru, kita dapat mengamati kemunduran yang dahsyat dari
masyarakat, kembali ke Abad Kegelapan.
Gejala ini tidak
hanya terjadi di Iran, India atau Aljazair. Di Amerika Serikat kita melihat
"Pembantaian Waco", dan setelah itu, di Swiss, bunuh diri massal yang
dilakukan oleh sekelompok orang fanatik beragama lainnya. Di lain-lain negeri
barat, kita melihat penyebaran tak terkendali dari berbagai sekte keagamaan,
tahyul, astrologi dan segala macam kecenderungan irasional. Di Perancis,
terdapat sekitar 36.000 pastor Katolik, dan sekitar 40.000 astrolog profesional
yang tercatat sebagai subyek kena pajak. Sampai baru-baru-ini, Jepang nampak
sebagai pengecualian terhadap kecenderungan ini. William Rees-Moff, mantan
editor dari harian Times di London, dan seorang Konservatif
tulen, dalam buku barunya, The
Great Reckoning, How the World Will Change in the Depression of the 1990s,
menyatakan bahwa: "Bangkitnya kembali agama adalah sesuatu yang sedang
terjadi di seluruh dunia, dengan berbagai tingkatannya. Jepang mungkin
merupakan pengecualian, mungkin karena tatanan sosial belumlah menunjukkan tanda-tanda
keretakan di sana. Rees-Mogg berbicara terlalu lekas. Dua tahun setelah kalimat
itu dituliskan, serangan gas yang mengerikan di jalur kereta bawah tanah Tokyo
menarik perhatian dunia akan keberadaan satu kelompok keagamaan fanatik yang
cukup besar, di mana krisis ekonomi telah menamatkan masa-masa keemasan tanpa
pengangguran dan ketidakstabilan sosial. Semua gejala ini mengandung satu
kemiripan yang luar biasa dengan apa yang terjadi di masa-masa setelah semakin
memudarnya pengaruh kekaisaran Roma. Jangan juga ada yang membantah bahwa
gejala ini hanya terbatas pada rakyat jelata. Ronald dan Nancy Reagan secara
teratur berkonsultasi dengan para astrolog mengenai tindakan-tindakan mereka,
baik yang besar maupun yang kecil. Di bawah ini adalah kutipan dari buku Donald
Regan, For the Record : "Hampir
setiap pergerakan dan keputusan besar yang diambil Reagan selama masa saya
menjabat sebagai kepala staf Gedung Putih terlebih dahulu diperbincangkan
dengan seorang perempuan di San Fransisco yang melihat horoskop untuk
memastikan bahwa semua planet terletak dalam posisi yang menguntungkan untuk
mendukung keberhasilan keputusan tersebut. Nancy Reagan kelihatannya memiliki
kepercayaan mutlak kepada kekuatan supernatural dari perempuan ini, yang telah
meramalkan bahwa "sesuatu" yang buruk akan terjadi pada presiden
beberapa waktu menjelang percobaan pembunuhan terhadapnya di tahun 1981.
Lahirnya Rasionalisme
Menurut
Magee (1998) filsafat dikenal juga sebagai aliran Rasionalisme yang mendasarkan
diri pada keyakinan bahwa pengetahuan kita tentang dunia dapat diperoleh
menggunakan nalar, dan bahwa masukan indrawitidak dapat diandalkan, yang malah
justru lebih cenderung menjadi sumber kekeliruan daripada sumber pengetahuan.
Magge
masih menceritakan dalam bukunya bahwa walau hanya sedikit dari para filsuf besar
yang mengikuti pandangan Deskrates tentang tidak dapat diragukannya eksistensi
Tuhan, ia telah memperkenalkan sejumlah hal fundamental ke dalam pemikiran
Barat. Keyakinannya bahwa nalar penemuan ilmiah menuntut kita untuk memulai
fakta-fakta yang tak dapat diragukan dan menarik konsekuensi yang bernalar
darinya menjadi fondasi ilmu pengetahuan di Barat. Para pemikir berikutnya
kebanyakan sampai pada keyakinan bahwa pengamatan yang terkendali dan
berdisiplin memiliki peran yang mutlak perlu untuk memperoleh fakta-fakta yang
tak dapat diragukan, yang kita perlukan untuk membangun premis-premis. Namun
mereka tetap mengakui bahwa Descartes telah mengambil dasar metode yang benar :
bahwa ia mulai dari fakta-fakta yang dapat diandalkan, kemudian menerapkan
nalar terhadap fakta itu dan tidak membiarkan apapun melakukan intervensi yakni
apasaja yang bahkan pada tingkat sekecil pun dapat menimbulkan keraguan.
Descrates meyakinkan orang-orang bahwa metode ini memungkinkan suatu sains
berbasis matematika yang mampu memberikan pengetahuan yang dapat diandalkan
tentang dunia. Sesungguhnya, memang itulah satu-satunya cara untuk mencari tahu
tentang dunia dan kepastian mutlak.
Teori Pengetahuan – nominalisme, rasionalisme (tetapi juga
skeptisisme). Sensasi (phantasmes
atau rasa imaj) lahir dari gerak jasmani bersama dengan nalar yang membentuk
pengetahuan. Namun, nalar bukan sebuah ”cahaya” yang memancarkan kebenaran
universal, sebagaimana terdapat dalam filsafat abad pertengahan atau filsafat
Cartesian, nalar juga bukan aktivitas pikiran yang dipahmi secara umum (tidak
ada yang namanya pikiran). Akan tetapi nalar merupakan sebuah epiphenomenon
tubuh manusia yang memilki fungsi tertentu, seperti memberi nama, mengindentifikasi
sebab-sebab alami, atau kejadian secara simbolik.
Metode
Kritik Nalar Filsafat Al-Ghazali
Mansur dalam Tesisnya
mengungkapkan, Al-Ghazali mempunyai metode kritik nalar. Mengingat istilah
nalar baru muncul sejak dipopulerkan oleh Kant dalam dunia filsafat Barat, yang
dikenal dengan kritik akal (nalar) budi murni dan kritik akal budi praktis, dan
Jabiri dalam dunia Islam yang dikenal dengan kritik nalar arabnya. Lalu
bagaimana al-Ghazali mempunyai metode kritik nalar, sementara dia hidup jauh sebelum
kedua tokoh tersebut. 4 Kini kritik nalar di dunia Islam populer sejak Jabiri
melemparkan pemikiran kritisnya dipasar intelektual muslim dengan proyek
besarnya “kritik nalar Arab”. Sebagai pemikir yang metode kritik nalar arabnya
telah mengilhami para pemikir Indonesia khususnya, ada baiknya jika kita
menoleh sejenak pada pemikiran Jabiri dalam memahami istilah nalar. Salah satu
analisis Jabiri yang relevan dengan tulisan ini adalah analisisnya bahwa
pemikiran terbagi dua; pemikiran sebagai Isi dan sebagai Alat.
1.
Pemikiran sebagai isi dalam arti
sekumpulan pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran yang dilahirkan oleh
pemikiran sebagai alat, misalnya tentang akhlak, doktrin-doktrin keyakinan
mazhab, di samping juga pemikiran yang berkaitan dengan pandangan manusia
tentang alam semesta. Sementara pemikiran sebagai alat berfungsi memproduksi
pemikiran-pemikiran, baik pemikiran yang diproduksi dalam kerangka internal
ideologi atau dalam kerangka internal pengetahuan. Pemikiran kedua ini ada dua;
pertama akal pembentuk (al-aql al-Mukawwin) yang biasa disebut nalar murni.
Pemikiran dalam bentuk ini merupakan pembeda antara manusia dengan hewan dan
setiap manusia mempunyai akal pembentuk ini. Kedua adalah akal terbentuk
(al-aql al-Mukawwan), yang biasa disebut nalar budaya, yaitu sekumpulan
prinsip-prinsip dasar, konsep-konsep dan gagasan yang mengatur sistem kognisi
berfikir manusia. Bentuk ini merupakan alat pembeda masing-masing manusia yang
berada dalam ranah budaya yang berbeda. Perbedaan antara nalar Arab 1 Muhmmad
Abed al-Jabiri, Iskaliat al-fikr al-Arobi al-Muashir, Beirut: Markaz Dirasat
al-Wahdah al-Arobiyah. Dengan nalar Barat terletak pada nalar bentuk kedua ini.
Pada aspek nalar terakhir inilah kritik nalar Jabiri diarahkan. Itu berarti,
kedua unsur pemikiran di atas, yakni pemikiran sebagai isi dan sebagai alat,
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah, walaupun juga ada
perbedaannya. Pemikiran sebagai isi, berarti sebagai produk dari pemikiran
sebagai alat. Tidak mungkin pemikiran lahir tanpa ada alat berfikir. Dengan
bahasa yang berbeda, dalam konteks pemikiran sebagai alat, al-Ghazali bertolak
pada metode berfikir logis dan benar yakni ilmu logika. Menurutnya, ilmu logika
sangat penting dalam merumuskan pemikiran yang benar dan logis.
2.
Disamping mengandung kebenaran,
ilmu logika juga mengandung kesalahan. Asumsi adanya kesalahan inilah, menurut
al-Ghazali ilmu logika harus diperbaiki, agar tidak membawa efek negatif
terhadap ilmu yang menggunakan ilmu logika, termasuk ilmu agama. Kritik
terhadap ilmu logika ini merupakan bentuk kritik pemikiran sebagai metode
nalar. Sedang kedua ilmu lainnya, metafisika dan fisika dalam pandangan
al-Ghazali juga mengandung kesalahan, di samping mengandung kebenaran. Dengan
asumsi itu, dia hendak mengkritik kedua ilmu tersebut guna 11-12. Nilai
pentingnya logika bagi al-Ghazali ditunjukkan oleh seringnya al-Ghazali
menampilkan analisis logika, baik dalam buku tertentu atau dalam kebanyakan
karya-karyanya. Misalnya dalam bukunya Al-Qisthas al-Mustaqim, yang ditulis
dengan gaya dialog; di dalam Maqosyid Falasifah, yang ditulis pada bab awal
dari tiga disiplin yang ditulisnya, dan juga buku Mi’yar al-Ilmi, sebagai buku
logika tersendiri sebagai salah satu unsur kritik al-Ghazali atas kerancuan
pemikiran para filsuf, kendati menurut Sulaiman Dun yang terkadang al-Ghazali
tidak konsisten. Al-Ghazali, Maqasyid Falasifah, Muqaddimah ala Tahafut
Falasifah, Edit. Sulaiman Dun-Yang, Mesir: Dar al-Ma’a rif, tt. 6 menemukan
kebenaran yang hakiki pada agama. Kritik terhadap kedua ilmu terakhir ini
merupakan bentuk kritik terhadap pemikiran sebagai isi. Untuk memberikan
sedikit pencerahan tentang al-Ghazali, dalam tulisan ini, saya hendak
merekonstruksi karya-karya rasional al-Ghazali, terutama yang tertuang dalam
beberapa bukunya, yakni: Maqosyid Falasifah, Tahafut falasifah dan Mi’yar
al-ilmi serta, al-Munkidz min al-dlalal.