Tiap bidang ilmu pengetahuan memiliki kosa katanya sendiri,
istilah-istilah yang seringkali tidak sama maknanya dengan penggunaannya sehari-hari. Hal
ini tentu akan menimbulkan berbagai kesulitan dan kesalahpahaman. Kata
"negasi" umumnya dimaknai sebagai sekedar penghancuran, pemusnahan.
Penting untuk dipahami bahwa dalam dialektika, negasi memiliki hakikat yang
sama sekali berbeda. Ia bermakna menghancurkan dan memelihara pada saat
yang bersamaan. Kita dapat menegasi sebutir benih dengan menginjaknya
hancur. Benih itu "dinegasi" tapi bukan dalam makna yang dialektik.
Orang-orang Yunani kuno
sangat akrab dengan diskusi yang dialektik. Dalam sebuah debat yang dijalankan
dengan benar, satu ide dikemukakan (tesis) dan kemudian disambut dengan
ide yang berlawanan (antitesis) yang menegasinya. Akhirnya, melalui
proses diskusi yang menyeluruh, yang menjelajahi isu yang dibahas dari segala
sudut pandang dan menjabarkan seluruh kontradiksi yang tersembunyi, kita akan
sampai pada kesimpulan (sintesis). Kita boleh sampai atau tidak sampai
pada kesimpulan tapi, dengan diskusi, kita telah memperdalam pengetahuan dan pemahaman
kita dan menempatkan keseluruhan diskusi dalam bidang pandang yang sama sekali
berbeda.
Sangatlah jelas bahwa
tidak satupun kritikus yang menyerang Marxisme pernah berepot-repot membaca
sendiri karya-karya Marx dan Engels. Seringkali dianggap, contohnya, bahwa
dialektika terdiri dari "tesis-antitesis-sintesis", yang dianggap
telah disalin Marx dari Hegel (yang dianggap menyalinnya dari Tritunggal
Mahakudus) dan menerapkannya ke dalam masyarakat. Karikatur yang
kekanak-kanakan ini masih terus diulangi oleh orang-orang yang semestinya
dianggap intelektual sampai hari ini. Pada kenyataannya, bukan hanya dialektika
Marx bertentangan dengan dialektika Hegel yang idealis, tapi dialektika Hegel
itu sendiri sangat berbeda dengan filsafat Yunani klasik.
Plekhanov dengan tepat
menyindir upaya untuk mereduksi struktur dialektika Hegelian pada
"Tritunggal kayu" tesis-antitesis-sintesis. Dialektika Hegel yang
maju itu mengandung hubungan yang kurang-lebih sama terhadap dialektika Yunani,
seperti hubungan ilmu kimia modern terhadap penyelidikan primitif yang
dilakukan oleh para ahli alkimia tempo dulu. Benar bahwa para ahli alkimia itu
menyiapkan landasan bagi berkembangnya ilmu kimia secara umum, tapi pernyataan
bahwa "keduanya pada dasarnya sama" adalah pernyataannya yang konyol,
titik. Hegel kembali pada Heraclitus, tapi pada tingkatan kualitatif yang lebih
tinggi, yang telah diperkaya oleh 2.500 tahun perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Perkembangan dialektika itu sendiri adalah proses yang dialektik.
Pada masa kini, kata
"alkimia" digunakan sebagai sinonim dari sihir tipu-tipu. Ia
mengumpulkan segala hal yang berhubungan dengan mantera dan black magic.
Unsur-unsur ini memang hadir dalam sejarah alkimia, tapi aktivitas mereka
tidaklah terbatas pada hal-hal ini saja. Dalam sejarah ilmu pengetahuan,
alkimia memainkan peran yang sangat penting. Alkimia adalah kata bahasa Arab,
yang digunakan untuk segala jenis ilmu tentang material. Banyak di antara
mereka memang penipu, tapi tidak sedikit pula yang merupakan ilmuwan-ilmuwan
yang baik! Dan kata kimia adalah kosa kata Barat untuk hal yang sama. Banyak
kosa kata dalam ilmu kimia berasal dari bahasa Arab - acid (asam), alkali (basa),alcohol,
dst.
Para ahli alkimia
berangkat dari proposisi bahwa mungkin bagi kita untuk mengubah satu unsur
menjadi unsur yang lain. Mereka mencoba selama berabad-abad untuk menemukan
"Batu filsuf", yang mereka percaya akan memungkinkan mereka untuk
mengubah logam dasar (timah) menjadi emas. Kalaupun mereka berhasil, tentunya
mereka tetap tidak akan mendapat manfaat apa-apa dari situ, karena nilai emas
akan langsung merosot senilai dengan timah! Tapi itu cerita lain. Kalau melihat
tingkatan perkembangan teknik pada masa itu, para ahli alkimia nampaknya
mencoba melakukan sesuatu yang mustahil. Pada akhirnya mereka dipaksa sampai
pada kesimpulan bahwa pengubahan [transmutasi] unsur adalah hal yang mustahil.
Walau demikian, upaya yang dilakukan para ahli alkimia bukanlah hal yang
sia-sia. Dalam pengejaran mereka terhadap hipotesis yang tidak ilmiah itu, batu
filsuf, mereka sebenarnya telah melakukan kerja-kerja kepeloporan,
mengembangkan seni eksperimen, menciptakan berbagai peralatan yang masih terus
digunakan dalam laboratorium-laboratorium masa kini dan merinci dan menganalisa
berjenis-jenis reaksi kimia. Dengan cara ini, alkimia telah menyiapkan jalan
bagi perkembangan ilmu kimia yang sejati.
Ilmu kimia modern mampu
melangkah maju hanya setelah menyangkal hipotesis dasar para ahli alkimia -
pengubahan unsur-unsur. Sejak akhir abad ke-18, ilmu kimia berkembang di atas
landasan yang ilmiah. Dengan menyingkirkan tujuan-tujuan masa lalu yang penuh
khayal itu, ia dapat melompat jauh ke depan. Kemudian, di tahun 1919, ilmuwan
Inggris Rutherford melakukan satu percobaan dengan membombardemen inti atom
nitrogen dengan partikel alpha. Hal ini mengakibatkan pecahnya inti atom,
pertama kalinya hal seperti ini dibuat oleh manusia. Dengan cara itu, ia
berhasil mengubah satu unsur (nitrogen) menjadi unsur lainnya (oksigen).
Pencarian yang telah berlangsung ribuan tahun di tangan para ahli alkimia itu
telah mencapai tujuannya, tapi dengan cara yang sama sekali tidak akan pernah
mereka sanggup bayangkan.
Mari kita lihat proses
ini lebih dekat lagi. Kita mulai dengan tesis: a) transmutasi unsur; ini
kemudian dinegasi oleh antitesisnya b) kemustahilan untuk mengubah satu unsur
menjadi unsur lain; yang kemudian digulingkan pula oleh negasi yang kedua c)
transmutasi unsur-unsur. Di sini kita harus memperhatikan tiga hal. Pertama,
tiap negasi menandai satu kemajuan yang pasti. Kedua, tiap kemajuan akan
menegasi tahapan yang sebelumnya, bereaksi melawannya, sambil merawat segala
hal yang berguna dan perlu dari tahapan yang dinegasinya. Terakhir, tahapan
puncaknya - negasi dari negasi - sama sekali tidak menandai kembalinya kita
pada ide awal (dalam hal ini, alkimia), tapi pemunculan kembali bentuk-bentuk
awal itu dalam tingkat yang lebih tinggi secara kualitas. Kebetulan, kini
mungkin bagi kita untuk mengubah timah menjadi emas, tapi prosesnya terlalu
mahal sehingga orang tidak mau repot-repot lagi melakukan itu.
Dialektika menggambarkan
proses-proses mendasar yang bekerja di alam raya, di tengah masyarakat dan
dalam sejarah perkembangan pemikiran, bukan dalam lingkaran yang bulat, di mana
proses-proses sekedar mengulangi diri mereka dalam siklus mekanik yang tanpa
henti, tapi sebagai sejenis spiral perkembangan yang terbuka di mana tidak
sesuatupun yang berulang persis dengan cara yang sama. Proses ini dapat
terlihat dalam sejarah fislafat dan ilmu pengetahuan. Seluruh sejarah pemikiran
mengandung proses perkembangan melalui kontradiksi yang tanpa putusnya.
Sebuah teori dikemukakan
untuk menjelaskan gejala tertentu. Teori ini secara bertahap diterima orang,
baik karena semakin banyaknya bukti yang membenarkannya, atau karena ketiadaan
teori lain yang lebih memuaskan. Pada titik tertentu, penyimpangan dari data
akan ditemukan, yang mulanya pasti diabaikan sebagai sekedar kesalahan
pengukuran. Lalu satu teori baru akan muncul untuk mengkontradiksi teori lama
dan untuk menjelaskan fakta-fakta dengan lebih baik. Pada akhirnya, setelah
pergulatan yang panjang, teori baru itu akan menggulingkan teori lama yang
telah menjadi ortodoks itu. Tapi, pertanyaan-pertanyaan baru akan terus muncul,
yang pada gilirannya harus pula diselesaikan. Seringkali, nampaknya kita
kembali pada ide-ide yang sebelumnya telah dibuktikan keliru. Tapi, hal ini
tidaklah berarti kembali pada titik nol. Yang kita lihat di sini adalah proses
yang dialektik, yang melibatkan pemahaman yang semakin dalam atas bekerjanya
alam, masyarakat dan diri kita sendiri. Inilah dialektika sejarah filsafat dan
ilmu pengetahuan.
Joseph Dietzgen, seorang
kawan Marx dan Engels, pernah berkata bahwa seorang tua yang merenungkan
kembali seluruh hidupnya boleh jadi akan melihatnya sebagai serangkaian
kesalahan yang, jika ia dapat memutar balik waktu, pastilah akan coba
diperbaikinya. Tapi, kemudian ia akan terbentur pada kontradiksi dialektikal
bahwa hanya melalui kesalahan-kesalahan itulah ia dapat sampai pada kebijaksanaan
yang dimilikinya sekarang, yang membuat ia sanggup melihat dan mengakui
perbuatan-perbuatan itu sebagai suatu kesalahan. Seperti yang telah diamati
secara teliti oleh Hegel, telaah-diri yang dilakukan seorang muda tidak akan
pernah memiliki bobot yang sama dengan yang dikemukakan oleh seorang yang
pengalaman hidupnya telah menghasilkan isi dan makna yang tinggi. Keduanya
dapat mengemukakan hal yang sama, tapi isi di dalamnya tidak sama. Apa yang di
masa muda merupakan pemikiran yang abstrak, yang tidak ada atau sedikit isinya,
kini adalah hasil dari sebuah refleksi yang matang.
Kejeniusan Hegel telah
membawanya memahami sejarah berbagai aliran filsafat sebagai proses yang
dialektik yang telah dialami oleh masing-masing pemikiran itu sendiri. Ia
membandingkannya dengan kehidupan sebatang tanaman, yang melalui berbagai
tahap, yaitu saling mengisi satu sama lain, tapi yang, dalam keseluruhannya,
menyusun kehidupan tanaman itu sendiri: "Semakin pikiran menganggap bahwa
pertentangan antara benar dan salah adalah hal yang tetap, semakin ia terbiasa
untuk mengharapkan atau persepakatan atau ketidaksepakatan dengan sistem
filsafat tertentu, dan melihat bahwa salah pernyataan pembenar dalam salah satu
sistem itu adalah benar. Ia tidak akan melihat berbagai sistem filsafat sebagai
sekedar evolusi progresif atas kebenaran, ia hanya akan melihatnya sebagai
kontradiksi antara varian-varian kebenaran. Kuncup akan runtuh ketika kelopak
mekar, dan kita akan mengatakan bahwa kuncup itu ditolak oleh kelopak; dengan
cara yang sama ketika buah muncul, kuncup dapat dilihat sebagai bentuk semu
dari keberadaan tanaman tersebut, karena buah akan terlihat dalam watak
sejatinya yang menggantikan kuncup. Tahapan-tahapan ini bukan saja berbeda
satu-sama lain, mereka saling menggantikan karena yang satu tidaklah dapat
hidup bersama yang lain. Tapi, aktivitas tanpa henti dari ciri inheren mereka,
pada saat bersamaan, mengikat mereka semua menjadi satu kesatuan organik, di
mana mereka bukan hanya saling mengkontradiksi satu sama lain, tapi di mana
yang satu adalah sama pentingnya dengan yang lain; dan hanya keharusan yang
setara sepanjang waktu inilah yang menjadikan dirinya sebagai satu kehidupan
yang utuh.