“Cintailah orang yang memberimu kebaikan. Hindari cinta yang mengacau
atau menambah beban pikiranmu. Kalau terpaksa mencintai orang yang membuat
dadamu sesak, tutuplah telinga, bersabarlah sampai engkau bisa menjauhinya..”
Terkadang kita menganggap bahwa
orang terdekat kita seperti sahabat atau pacar adalah orang yang baik, setia.
Seseorang yang selalu menemani waktu kita, membuat kita tertawa, mendengar
setiap keluh kesah kita. Ia paham diri kita dan sangat mudah pula ketika ia
akan menghancurkan kita. Disisi lain boleh jadi ia menjadi pelipur lara dan
pengajak kita kepada kebaikan namun boleh jadi ia hanya sebagai penumbuh lara
dan menyeret kita kejurang kemaksiatan atau kesesatan.
Dalam suatu asrama tinggallah dua
orang siswa dalam satu kamar. Awalnya mereka terlihat sangat akrab dan periang.
Lambat laun mereka saling terlihat sifat aslinya. Tina tergolong siswa yang
rajin beribadah, cerewet dan suka usil, Nina tergolong siswa yang rajin, pandai
dan pendiam. Perbedaan karakter tersebut tidak membuat dampak apapun bagi
penghuni kamar tersebut.
Suatu ketika selepas sholat subuh,
Tina melihat Nina tertidur dimeja belajarnya dengan buku yang berserakan. Ia
hendak melihat buku yang berwarna coklat tertumpuk di bagian paling atas. Judul
buku yang ditulis dengan menggunakan huruf latin, entah dari Negara mana dan
entah apa arti dari judul buku tersebut. Gambar cover itulah yang menarik Tina
untuk meraihnya. Lembar demi lembar ia buka dan dibacanya tulisan dalam buku
tersebut dalam bahasa Inggris. “Wow seru sekali?” komentar Tina dalam hati.
Tiba-tiba ia menemukan selembar kertas yang terlepas dari buku tersebut. Kertas
berwarna putih, sepertinya itu memo. Tertuliskan nomor telephone dan sebuah
nama seorang laki-laki sepertinya. Tanpa ba..bi..bu.. diselipkan kembali kertas
memo kedalam buku tersebut, namun nama laki-laki itu terus terbayang dipikiran
Tina. Sepertinya ia sangat mengenalnya, tiba-tiba kepala Tina pening
memikirkannya.
“Kau kenapa Tina?” tanya Nina yang
seketika itu terbangun. Namun, Tina tidak memberikan jawaban dan terlelap
tertidur kembali. Nina, keluar kamar asrama hendak pergi kedapur. Hari ini
jadwal ia memasak, tetapi di kulkas tidak ada bahan makanan sama sekali. “Nina,
kita pergi ke Danau yuk,?” ajak Tina sembari berjalan menuju dapur. “Sekarang?”
tanya Nina. “Yes, right now!!” sahut Tina tegas. “OK. I will to take a bath”
jawab Nina tersenyum.
***
Sesampainya di Danau. Duduklah
kedua gadis tersebut di bawah pohon yang sangat rindang, cuacanya tidak begitu
panas, sejuk dengan bentangan air danau yang luas, pemandangan yang sangat
indah. Mereka duduk diatas bentangan tikar sambil makan buah-buahan yang mereka
bawa. Sesekali angin berhembus menambah sejuknya suasana di pinggiran danau.
“Nina, boleh
aku bertanya?” tanya Tina membuka pembicaraan
Dengan tatapan penuh harap, ia memandang Tina “Ya..”jawab Nina
“Pagi tadi, aku
menemukan nomor telephone dan sebuah nama terselip di bukumu yang berwarna
coklat, aku temukan diatas tumpukan buku di mejamu. Sepertinya judul buku
menggunakan bahasa latin. Siapa dia?” tanya Tina
Nina mengernyitkan dahi sambil mengingat buku yang
dimaksud Tina. “Fajri Al-Kamal.. dia mantan
kekasihku, dia seorang penulis lepas. Buku itu adalah karangannya yang terakhir
kali ia berikan padaku. Sekarang aku benar-benar telah menghindar darinya. Aku
tak mau mengenalnya kembali.” Jelas Nina tanpa sungkan dan meneteskan air
mata. “Kau mengenalnya Tina?”tanya Nina.
“Tidak, hanya
saja nama itu tidak asing bagiku.” Jawab Tina
“Ya. Beberapa
buku yang tertata rapi di rak bukumu adalah hasil karangannya, bahkan kau
sering menggunakannya untuk referensi” jelas Nina
“Masya Allah, mengapa
kau tega meninggalkannya? Hasil karyanya sangat bagus dan menarik, sepertinya
ia laki-laki yang sholeh” tanya Tina keheranan
“Taukah Tina,
ia telah menyakitiku. Sewaktu itu aku hanya ingin ia menikahiku, namun entah
mengapa keraguan itu membuatku mengurungkan niat sehingga kami hanya sebatas
pacaran. Awalnya kami baik-baik saja, namun setelah sekian bulan ia sering
sekali marah tanpa sebab, bahkan ia pernah memaki-maki keluargaku sebagai
pelacur dan rumahku tempat pelacuran. Entah apa yang membuatnya berfikir
demikian, benar-benar gila dan tidak masuk akal. Sesekali aku pernah
memergokinya keluar dari club malam, ia dalam keadaan mabuk dengan seorang wanita
yang auratnya terbuka. Saat itu hatiku merasa hancur, dan saat itu pula aku
berjanji untuk meninggalkannya.” Jelas Nina
Nina memeluk Tina erat-erat, dari kejauhan mereka
terlihat sahabat yang sangat romantic, sampai akhirnya senja menyelimuti
langit-langit.
“Aku masih sangat menintainya, aku selalu
sabar menantinya. Namun, ia cinta yang tak membuahkan manfaat untukku dan
keluargaku. Ia hanya akan menambah beban pikiranku, menyesakkan dadaku,
mengeringkan air mataku. Maka, aku terpaksa meninggalkanmu, untuk sebuah impian
dan hubungan yang lebih baik.”